Kekhawatiran akan epidemi obesitas pada anak yang kini melanda banyak
negara membuat badan kesehatan dunia (WHO) mengeluarkan rekomendasi
pelarangan iklan makanan untuk anak. Jenis makanan yang dilarang
terutama adalah makanan tinggi garam, gula, serta berlemak.
Rekomendasi ini merupakan bagian dari upaya melawan peningkatan kasus
penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes, penyakit jantung dan
paru, yang memicu peningkatan kematian dini. Obesitas merupakan salah
satu faktor pemicu penyakit tidak menular. Dr. Timothy Armstrong dari
WHO mengatakan penyakit tidak menular kini menyebabkan 90 persen
kematian dini pada negara berpenghasilan rendah dan menengah dimana
obesitas menjadi masalah.
Pemberantasan penyakit tidak menular memang menjadi fokus dari
kebijakan kesehatan global yang digagas oleh WHO tahun ini. Dalam
pertemuan para pejabat WHO minggu lalu mereka mendiskusikan upaya untuk
menarik perhatian para pemimpin negara akan bahaya marketing industri
makanan yang bisa memicu kegemukan pada anak. WHO juga akan menggunakan
kesempatan pada Sidang Majelis Umum PBB untuk membahas hal ini.
Secara global, dari 42 juta anak berusia kurang dari 5 tahun yang
menderita obesitas, 35 juta di antaranya adalah anak dari negara miskin.
Rekomendasi yang dikeluarkan WHO termasuk pada pengurangan frekuensi
iklan makanan dan "pengaruhnya", dimana kebanyakan iklan menggunakan
tokoh kartun yang menarik bagi anak-anak.
Para pejabat WHO juga sudah meminta pendapat perusahaan makanan
terkemuka seperti Coca Cola, General Mills, Kraft, McDonals, Nestle,
Univeler, dan masih banyak lagi. Para perusahaan tersebut setuju untuk
mematuhi aturan tersebut dan berkomitmen untuk tidak memasarkan makanan
yang tidak sehat pada anak berusia kurang dari 12 tahun.
Menurut Armstrong, dalam pelaksanaannya WHO meminta bantuan tiap
negara untuk memonitor implementasi setiap kesepakatan yang dicapai
dengan industri namun rekomendasi dari WHO ini bisa dipakai sebagai
langkah awal. "Konsepnya adalah setiap pemerintahan harus memimpin
proses ini," katanya.
Obesitas alias kegemukan diperkirakan akan menjadi musuh kesehatan
baru dan nomor satu di negara-negara maju. Dampak kegemukan mirip dengan
rokok. Kegemukan tak hanya memengaruhi tingkat kesehatan warga, tetapi
juga membebani keuangan negara.
Saking pentingnya persoalan kegemukan bagi pembangunan bangsa,
persoalan ini menjadi agenda khusus dalam pertemuan tingkat Menteri
Kesehatan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation
for Economic and Co-operation and Development/OECD) di Paris, 7-8
Oktober lalu.
Persoalan kegemukan menjadi penting karena kegemukan menyebabkan
membengkaknya biaya kesehatan yang harus ditanggung negara. Di sisi
lain, kegemukan juga membuat negara kehilangan tenaga produktif yang
bisa dimanfaatkan untuk membangun bangsa.
Sebagian besar dari 33 anggota OECD adalah negara maju dan anggota
Uni Eropa. Untuk bidang kesehatan, Indonesia belum menjadi anggota OECD.
Bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, Indonesia berstatus
sebagai negara pengamat.
Laporan OECD 2010 yang disusun Franco Sassi menunjukkan, penderita
obesitas 8-10 kali lebih cepat meninggal dibandingkan orang dengan berat
badan normal. Setiap kelebihan 15 kilogram dari berat badan normal
meningkatkan risiko kematian hingga 30 persen.
Dalam sistem kesehatan di semua negara, obesitas menjadi persoalan
serius dan mahal. Biaya kesehatan penderita obesitas 25 persen lebih
tinggi dibandingkan orang normal. Semakin gemuk, semakin besar biaya
yang dikeluarkan.
Biaya kesehatan individu yang tinggi itu turut mendongkrak biaya
kesehatan yang harus ditanggung negara. Di negara-negara maju, obesitas
memakan 1-3 persen total pengeluaran kesehatan. Bahkan, di Amerika
Serikat, penanganan obesitas menggunakan 5-10 persen anggaran
kesehatannya.
Besarnya anggaran mengatasi kegemukan diperkirakan akan terus naik
seiring semakin berkembangnya gaya hidup tak sehat, meningkatnya beban
hidup yang memicu stres, serta masih maraknya kebijakan pembangunan yang
justru mendorong gaya hidup tak sehat.
Tren obesitas
Tinggi dan berat badan manusia mengalami peningkatan sejak abad
XVIII. Pemicunya adalah meningkatnya pendapatan, pendidikan, dan
kualitas hidup. Bagi sebagian kecil kalangan, gemuk dianggap sebagai
standar sehat dan tanda kemakmuran.
Perkembangan zaman membuat asupan makanan bertambah. Sayangnya,
makanan yang dikonsumsi justru lebih banyak mengandung kalori dan lemak.
Pada saat bersamaan, pola kerja dan gaya hidup masyarakat menjadi
kurang gerak. Ini ditambah dengan beban stres masyarakat yang semakin
tinggi serta jam kerja yang semakin panjang. Semua itu meningkatkan
jumlah masyarakat yang menderita kegemukan.
Pandangan akan kegemukan dan perubahan gaya hidup masyarakat membuat
jumlah penderita kegemukan meningkat selama tiga dekade terakhir.
Sebelum 1980, hanya 1 di antara 10 orang alami kegemukan. Kini jumlahnya
berlipat-lipat.
Di separuh negara OECD, 1 dari 2 orang mengalami kelebihan berat
badan dan kegemukan. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan 2 dari 3
orang akan kelebihan berat badan dan kegemukan 10 tahun ke depan.
Negara OECD yang paling rendah jumlah penderita kegemukannya adalah
Jepang dan Korea Selatan. Selain ditopang pola konsumsi yang lebih
sehat, tata kota di kedua negara itu juga memungkinkan masyarakatnya
bergerak dan memiliki aktivitas fisik lebih banyak.
Perempuan lebih mudah menjadi gemuk daripada pria.
Di beberapa negara OECD, perempuan berpendidikan rendah mengalami
kelebihan berat badan 2-3 kali lebih besar dibandingkan perempuan
berpendidikan tinggi.
Anak dengan satu orangtua gemuk berpotensi 3-4 kali lebih besar untuk
menjadi gemuk dibandingkan anak dari orangtua berberat badan normal.
Selain persoalan genetik, orangtua menurunkan gaya hidup tak sehat. Pola
makan yang salah, kurang gerak, dan terlalu banyak duduk adalah
sebagian gaya hidup yang diwariskan orangtua.
Kegemukan juga menjadi persoalan dalam dunia kerja. Pemberi kerja
kurang suka dengan calon karyawan yang gemuk karena dianggap
produktivitasnya rendah dan mudah sakit. Pekerja gemuk gajinya 18 persen
lebih rendah dibandingkan yang berberat badan normal.
Pengaruhi ekonomi
Pelan tapi pasti, kegemukan menjadi musuh global. Bukan hanya karena
dianggap memengaruhi produktivitas, melainkan juga menimbulkan dampak
ekonomi seiring semakin tingginya biaya kesehatan.
Namun, perhatian pemerintah pada kegemukan masih sangat kurang.
Rendahnya pajak makanan instan dan maraknya pembangunan restoran siap
saji turut mendorong pola makan yang salah. Sedangkan sistem
transportasi telah mengurangi aktivitas jalan kaki, kurangnya ruang
terbuka, dan fasilitas olahraga turut mendorong masyarakat semakin malas
melakukan kegiatan fisik.
Untuk menahan laju pertumbuhan kegemukan, pemerintah, perusahaan
swasta, dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama. Promosi atas bahaya
kegemukan dan langkah-langkah pencegahannya harus dilakukan segera dan
menyeluruh. (fn/k2m) www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar