Bagi sebagian orang judul di atas mungkin terasa aneh, karena jilbab
sering dipandang sebagai identitas Islam. Pandangan seperti ini memang
tidak terlalu salah, karena hampir semua orang tahu bahwa Islam
mewajibkan para wanita (muslimah) memakai jilbab, padahal jilbab sendiri
tidak selalu berkaitan dengan Islam. Wanita yang setiap hari memakai
jilbab tidak selalu beragama Islam, demikian juga sebaliknya, wanita
Islam tidak selalu memakai jilbab. Sayangnya kita sering melupakan hal
sederhana ini, sehingga kemudian muncul perdebatan dan tindakan yang
menafikan keberagaman dan membelenggu hak asasi manusia. Perdebatan
biasanya tidak terlalu penting, karena hanya berkutat di seputar fungsi
jilbab dan hubungannya dengan etika (moralitas).Dalam perspektif
kekinian, jilbab sering dipersepsikan sebagai sesuatu yang eksklusif dan
tidak bisa menerima sekaligus diterima dalam suatu perbedaan.
Bahkan tidak jarang jilbab dianggap sebagai trouble maker. Penerapan
hukum wajib memakai jilbab bagi wanita di Aceh dan pelarangan wanita
berjilbab di beberapa negara adalah contoh bagaimana jilbab dimaknai
secara eksklusif. Di beberapa instansi dan sekolah di Indonesia pun
seringkali terdengar kasus pelarangan memakai jilbab. Kasus pelarangan
penggunaan jilbab bagi karyawati Rumah Sakit di Semarang menjadi contoh
bagaimana jilbab masih dianggap sebagai masalah yang mengganggu. Ini
terjadi disamping karena jilbab selalu diidentikkan dengan Islam kolot
(kuno) yang eksklusif, sebagian karena jilbab juga dianggap menjadi
identitas dari sebuah radikalisme agama (teroris), padahal siapapun tahu
bahwa jilbab tidak ada hubungannya dengan terorisme.
Istilah jilbab di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai kerudung untuk
menutupi kepala (rambut) wanita. Di beberapa negara Islam, pakaian
sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran,
pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak,charshaf
di Turki, dan hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir,
Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya
konsep hijâb bukanlah ‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab
suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan
hijâb seperti tif’eret. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan
kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) juga ditemukan istilah
semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah,zaif dan mitpahat.
Menurut Eipstein, seperti dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya,
hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan
Nasrani). Bahkan Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa pakaian yang menutupi
kepala dan tubuh wanita itu sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama
(3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan
Code AsyiriaKompas, 25/11/02). (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab
bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia,
Babilonia, dan Asyiria (Kompas, 25/11/02).
Terlepas dari adanya kewajiban memakai jilbab bagi wanita Islam, sejarah
mencatat bahwa jilbab sendiri merupakan bagian dari pakaian kebesaran
sebagian besar agama, terutama agama-agama besar di dunia. Pakaian
penutup kepala yang seringkali digabung dengan pakaian panjang (semacam
toga) yang menutupi hampir seluruh tubuh itu bahkan tidak hanya dipakai
oleh wanita, melainkan juga dipakai oleh guru-guru (pendeta) agama.
Sehingga perdebatan tentang jilbab sendiri menjadi tidak begitu penting,
karena faktanya jilbab telah menjadi tradisi dan identitas hampir semua
agama.
Apapun namanya, jilbab atau penutup kepala dan pakaian yang menutupi
sebagian besar tubuh wanita, diakui atau tidak adalah bagian dari
tradisi dan ajaran agama-agama. Jilbab merupakan identitas tentang
sebuah kebaikan, kesopanan dan ketaatan. Tentu saja jika dikaitkan
dengan moralitas secara personal, tetap bergantung pada ahlak
pemakainya. Karena jilbab hanyalah benda, sama seperti pisau, sangat
bergantung pada siapa yang menggunakan.
Dalam Islam, memakai jilbab adalah suatu keharusan bagi seorang wanita
dengan maksud untuk menutupi aurat. Sedangkan dalam Kristen dan Katolik,
pakaian semacam jilbab selalu digunakan oleh para Biarawati dan para
Suster.
Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh panutan umat Kristen dan
Katolik selalu memakai jilbab dalam hidupnya. Jilbab dengan nuansa putih
dan sentuhan garis biru sang Bunda telah menjadi bagian dari keramahan
dan kepeduliannya terhadap sesama.
Rabbi Rachel, salah satu Rabbi yang sangat dihormati oleh umat Yahudi
juga selalu menggunakan penutup kepala dan longdress dalam
kesehariannya, terutama pada saat memimpin prosesi keagamaan.
Bahkan Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) , yang dikenal sebagai
Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian
suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih
menutup kepala.
Hal yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang
sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai
menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas
yang dipakai sehari-hari.
Demikian juga pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad
pertengahan. Pakaian panjang yang anggun dengan penutup kepala yang khas
itu tidak hanya dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis, namun
juga dipakai oleh rakyat kebanyakan. Bahkan style fashionera ini telah
menginspirasi para perancang busana saat ini untuk dipakai pada
acara-acara agung seperti pernikahan.
Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jepang dan tradisi-tradisi sebagian
besar kelompok masyarakat di bumi yang telah memiliki peradaban.
Faktanya sejak dahulu sampai saat ini jilbab tidak hanya menjadi bagian
dari dinamika peradaban, namun telah menjadi simbol kebaikan dan
ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan
menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua
menetapkannya sebagai kewajiban. Fakta ini memberikan pelajaran bagi
kita bahwa jilbab tidak selayaknya dianggap sebagai problem, apalagi
dipersepsikan menjadi bagian dari kekerasan. Perdebatan apapun mengenai
jilbab hanyalah pepesan kosong tanpa makna.
Dari perspektif tradisi (culture) bersama inilah seharusnya jilbab tidak
menjadi penghalang kebersamaan, namun seyogyanya dapat menjadi
pemersatu dalam keragaman agama dan budaya. Jilbab semestinya dimaknai
sebagai keagungan berbudaya dan bukan sebaliknya. Bagaimanapun jilbab
terbukti merupakan identitas dan milik semua agama, sehingga naif jika
hanya dikaitkan dengan salah satu agama dan diidentikkan dengan
keterbelakangan budaya(eksklusifisme). Akhirya, karena jilbab adalah
keniscayaan, bagian dari keagungan budaya, dan diterima oleh semua
agama, terlepas kita memakainya atau tidak, mestinya kita bisa menerima
keberadaannya kan ?[zonamaya.info]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar